Artikel : Pendidikan dan peningkatan status sosial keluarga miskin
Jumat, 09 Januari 2009
Perhatian yang Serius Untuk Pendidikan Anak Keluarga Miskin
Yulhendri,S.Pd,M.Si
Penulis adalah : Wasekjen Pimpinan Pusat Alumni UNP, Dosen UNP
Penduduk miskin merupakan salah satu persoalan di Indonesia, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki penghasilan tetapi penghasilan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan termasuk untuk kebutuhan akan pendidikan anak. Berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintahan untuk mengurangi kemiskinan ini barangkali telah memberikan dampak terhadap berkurangnya penduduk miskin, indikasinya data tahun 2001 penduduk miskin dari 15,16 % menjadi 13,5 % pada tahun 2003. Namun persoalannya benarkan data itu adanya. Kalau kemudian data ini benar barangkali memberikan kabar gembira kepada kita semua namun penulis sedikit meragukan kesahian data tersebut, karena dua hal pertama karena dana yang digunakan untuk menggali data tersebut mempengaruhi keseriusan tenaga lapangan mendata data tersebut dan yang kedua asumsi atau indikator yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan tersebut.
Pemerintahan dibawah kepemimpinan Bapak Susilo Bambang Yudoyono, melakukan visi kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dengan tiga cara yakni : Pertama, Mempercepat pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk miskin tidakakan dapat dikurangi secara signifikan tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi orang miskin. Pada periode setelahkrisis, berkurangnya penduduk miskin lebih banyak disebabkan karenamembaiknya stabilitas ekonomi dan turunnya harga bahan makanan.Untuk menurunkan tingkat kemiskinan lebih jauh lagi, pertumbuhanekonomi yang lebih tinggi merupakan suatu keharusan. Kedua, Peningkatan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin. Indonesia harus dapat menyelesaikan masalah dalam bidang pelayanan sosial agar manfaat dari pembangunan lebih dirasakan. Peningkatan dalam efektifitas dan efisiensi pemberian pelayanan sosial, dapat dicapai dengan mengusahakan perbaikan dalam sistem kelembagaan dan kerangka hukum, termasuk dalam aspek-aspek yang terkait dengan desentralisasi. Hal ini akan membuat penyedia jasa mengenali tanggung jawab mereka dalam menjaga kualitas pelayanan yang diberikan, disamping memberikan kesempatan bagi pemerintah dan masyarakatuntuk mengawasi aktifitas tersebut.Ketiga Perlidungan bagi si miskin. Kebanyakan penduduk Indonesia rentanterhadap kemiskinan. Hampir 40 persen dari penduduk, hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan nasional dan mempunyai pendapatan kurang dari US$2 per hari. Perubahan sedikit saja dalam tingkat harga, pendapatan dan kondisi kesehatan, dapat menyebabkan mereka berada dalam kemiskinan, setidaknya untuk sementara waktu. Program perlidungan sosial yang ada tidaklah mencukupi dalam menurunkan tingkat resiko bagi keluarga miskin, walaupun memberikan manfaat pada keluarga yang lebih berada. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan menyediakan program perlindungan sosial yang lebih bermanfaat bagi penduduk miskin serta masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan.
Ketiga pemikiran tersebut saya kira ada baiknya namun cara ini adalah cara yang instan dan jangka pendek yang bisa dilakukan namun secara jangka panjang pola ini tidaklah menguntungkan karena masyarakat tidak memiliki modal. Penulis justru lebih memfokuskan perhatian pemerintah pada satu program pengentasan kemiskinan untuk kejayaan bangsa dengan perhatian yang serius pada anak keluarga miskin. Keluarga miskin perlu dibantu untuk memiliki modal sosial yang kuat. Pemerintah perlu secara khusus mengalokasi dana sebesar 5 % untuk beasiswa membantu anak keluarga miskin mengakses pendidikan perguruan tinggi secara massal. Program ini praktis untuk dilaksanakan, memberikan efekganda yang langsung kepada perekonomian masyarakat Indonesia, karena dana itu akan bisa dibagi secara rata kepada keluarga miskin pada umumnya berada dipinggir kota dan pedesaan dan dibelanjakan pada perekonomian masyarakat kota, untuk membayar tempat kos, membeli kebutuhan harian, listrik, uang sekolah, buku-buku, foto copy. Artinya pengeluaran yang dilakukan oleh anak sekolah yang dibiayai oleh pemerintah sebagian menjadi pendapatan bagi usaha-usaha kecil disekitar kampus.
Program ini secara jangka panjang akan berdampak pada tingginya martabat anak bangsa, keluarga miskin memiliki kepemimpinan keluarga yang bisa membantu adik-adiknya khsususnya untuk melanjutkan pendidikan. Ukuran pembangunan manusia salah satunya adalah lama bersekolah, sekarang rata-rata penduduk Indonesia bersekolah kurang dari 7 tahun, dan dengan adanya program ini maka lama bersekolah bisa ditingkatkan dan bisa lebih dari 12 tahun, sehingga HDI Indonesia bisa meningkat. program ini akan lahir generasi baru yang bersekolah yang lebih cerdas dan tidak menjadi buruh tapi kelompok menengah yang lebih cerdas di masa mendatang. Jika APBN Negara sekarang mencapai Rp 500 Triliyun maka Rp 2,5 Triliyun telah bisa dialokasikan untuk menyekolahkan anak bangsa sebanyak 160.000 orang dengan asumsi masing-masing mendapatkan beasiswa Rp 15.000.000,- maka dalam 5 tahun ke depan sudah bisa 1 juta serjana baru dan calon kelas menengah baru yang lahir dengan dana APBN belum lagi APBD Propinsi dan kota di seluruh Indonesia, sehingga dengan program ini kita harapkan Indonesia bangkit menjadi Negara yang maju yang bermartabat bukan Negara kuli.
Khusus untuk Propinsi Sumaterea Barat, barangkali kebijakan ini bisa diberikan contoh kepada nasional sehingga kita berjalan kearah yang benar ke depan. Data Propinsi Sumatera Barat tahun 2005 Penduduk Sumatera Barat data tahun 2005 berjumlah 4.528.242, jiwa dengan komposisi 2.225.847 laki-laki dan 2.302.395 orang perempuan. Penduduk yang berumur 10 tahun keatas yang buta huruf masih ada 3,79 %, sementara itu penduduk yang berumur 5 tahun keatas yang belum bersekolah 6,5 %, yang sedang bersekolah sebanyak 29,16 % dan yang tidak bersekolah lagi sebanyak 64,35 %. Penduduk yang masih sekolah dari umur 7 – 12 tahun (SD) 97,11 % , SLPT (12- 15 tahun) 88,73 %, SLTA( 16 – 18 tahun) 66,41. Artinya adalah anak pusus sekolah pada SLPT sebanyak 12,37 %, SLTA 33,59 %. Fakta ini juga menunjukkan bahwa anak putus sekolah paling tinggi berada di tingkat pedesaan (nagari) yakni 41,34 % pada tingkat SLTP/SLTA.
Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki kekuatan ekonomi yang relatif rendah di Indonesia, dengan income perkapita tahun 2003 7,4 juta sementara nasional 8,3 juta, dengan jumlah penduduk miskin sebesar 15,16 % tahun 2001 dan 13,5 % pada tahun 2003. Dari sisi penerimaan daerah pada tahun 2004 pendapatan asli daerah sebesar Rp 375 Milyar yakni 54 % dari total penerimaan daerah sebesar Rp 683,9 milyar. Sehingga jika pemerintah propinsi Sumatear Barat mau memulai ini maka akan diperoleh dana sebesar lebih kurang Rp 32,8 milyar, dan jika masing-masing anak keluarga miskin diberikan Rp 8.000.000,- maka pemerintah Sumbar bisa menyekolahkan keluarga miskin ke Perguruan Tinggi sebanyak 4.105 orang setahun dan untuk lima tahun ke depan bisa mencapai 20.525 orang. Namun jika Pemerintah Sumber sekarang telah memiliki Anggaran sebesar Rp 1 Triliyun maka tentu saja akan lebih banyak lagi anak keluarga miskin yang bisa bersekolah.