Artikel : 5% APBN khusus untuk anak keluarga miskin

Jumat, 09 Januari 2009

5 % untuk Sekolah Anak Orang Miskin
Yulhendri,S.Pd,M.Si
Penulis adalah : Pemerhati sosial dan ekonomi tinggal di Padang

Negeri kita ini merupakan salah satu Negara yang memiliki potensi kekayaan yang luar biasa, sumber daya alam yang beragam, sumber daya manusia yang melimpah dan memiliki letak geografis yang strategis dalam perdagangan dunia. Mencermati potensi ini sesungguhya kita memiliki potensi menjadi Negara besar di kemudian hari. Namun hingga hari ini fakta menunjukkan kita masih tergolong pada Negara miskin dengan kelayakan kehidupan yang masih sangat rendah. UNDP mengambangkan ukuran kesejahteraan dengan indek pembangunan manusia (human development indeks) dengan 4 indikator yakni lama bersekolah, harapan hidup, indeks kemiskinan dan pendapatan perkapita. Dari empat indikator tersebut Indonesia berada pada rangking 117 dari 157 negara. Kenapa ini bisa terjadi, jawabannya ada pada data-data penelitian dan argumentasi para pemikir kita yang pada umumnya berada pada lingkaran orang yang memiliki kekuasaan untuk bisa merubah negeri ini.
Kita semua mengetahui dan selalu diberikan pengatahun oleh para penguasa negeri ini bahwa telah banyak dilakukan untuk merubah negeri ini, salah satunya adalah memberikan penghargaan (award) kepada pimpinan daerah yang memiliki kepedulian tentang kemiskinan. Namun kalau kita berfikir dalam persfektif lain, terasa bahwa kemiskinan ini sengaja diciptakan dan dipertahankan oleh para penguasa, politisi dan pengusaha karena bisa dijadikan lahan yang empuk untuk basis massa politik, pasar dan para pekerja. Apa fakta yang menunjukkan pemikiran ini, Pertama kita memiliki lahan dalam bentuk tanah ulayat, lahan itu sesungguhnya bisa diolah dengan uang public yang tersimpan di bank-bank swasta dan Negara. Namun uang itu bukan dikucurkan kepada masyarakat umum (petani), tapi cenderung dikucurkan ke pengusaha luar daerah dan asing untuk membuka kebun-kebun sawit di Solok Selatan, Pasaman Barat, Dharmasraya dll bahkan Mall. Petani hanya bisa gigit jari dan kadang-kadang diminta bersabar menunggu dibangunkan kebun plasma (kredit petani), model plasma-inti memberikan kesempatan perorangan yang memiliki dana dan akses modal ke bank untuk mengeksploitasi lahan ulayat rakyat yang sangat luas dan rakyat hanya diberikan sedikit lahan. Kedua, partai politik bersinergi dengan pungusaha dan penguasa untuk melakukan kegiatan-kegiatan penggalangan massa, kaderisasi partai, kegiatan ini menyedot waktu, tenaga dan uang tidak sedikit namun jika dibandingkan dengan opportunity cost yang timbul, atau biaya kesempatan yang hilang atas kegiatan itu bagi masyarakat juga cukup tinggi. Kegiatan-kegiatan partai cenderung tidak produktif secara ekonomi tetapi hanya menguras waktu. Partai dengan sengaja mempertahankan kemiskinan agar jumlah orang bisa dihadirkan pada momen politik dengan biaya politik yang rendah untuk mempertahankan kekuasaannya.
Barangkali hanya sedikit orang yang menyetujui mempertahakan kondisi kemiskinan ini, kenapa, karena kemiskinan ini sangatlah meresahkan, menyedikan dan menyakitkan. Penulis termasuk sebagian warga Negara yang tidak menyetujui kemiskinan ini dipertahankan, maka dalam kesempatan ini izinkalah penulis mencoba menawarkan solusi yang praktis untuk mengurangi kemiskinan secara nyata. Caranya adalah pemerintah mesti memotong lingkaran kemiskinan itu sendiri. Apa yang bisa dilakukan ?, Negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan dana public untuk merobah profesi anak keluarga miskin menjadi generasi cerdas, kreatif dan inovatif dan sehat. Pemerintah cukup memfokuskan anggaran Negara pada upaya untuk merubah nasib anak keluarga miskin khususnya perempuan.
Keluarga miskin seperti yang penulis amati, pelajari dan rasakan adalah : keluarga yang berasal dari keluarga yang berprofesi sebagai nelayan, petani, kelompok pekerja non formal di perkotaan, buruh (pekerja). Masing-masing profesi memiliki karakteristik yang berbeda. Nelayan di tepi pantai memiliki keluasaan mencari ikan yang bebas di laut lepas, namun mereka dibatasi oleh skill yang kurang dalam hal menangkap ikan, terlebih lagi terjerat dalam jeratan hutang dalam ekonomi patron client, intervensi pemerintah dalam merubah nasib kaum nelayan tidaklah berhasil secara baik karena berbagai faktor. Keluarga petani di pedesaan (nagari), mereka memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, perkeluarga dihimpit oleh hutang, lahan tidak produktif secara baik karena keterbatasan teknologi yang dimiliki dan lahan yang dimiliki, para pekerja di perkotaan dibatasi oleh rendahnya gaji yang diberikan oleh majikan dan pekerja non formal di perkotaan dibatasi oleh tempat berusaha dan manajemen usaha yang terbatas.
Intervensi pemerintah untuk merubah keuarga pada kelompok marginal ini telah banyak dilakukan, seperti pemberian modal kerja, alat produksi, kredit usaha tani, kredit dana bergulir, subsidi pupuk, pembangunan tempat berdagang namun kenyataan program ini belum secara signifikan merubah nasib keluarga miskin. Maka barang kali kita perlu memfokuskan pada generasi muda yang dilahirkan oleh keluarga miskin, pemerintah perlu melakukan intervensi yang lebih tepat dengan cara merobah nasib anak keluarga miskin dengan cara “menyekolahkan anak keluarga miskin” hingga mereka memiliki keahlian, kebebasan dan kemandirian berfikir, dan sikap yang memadai untuk merubah nasib mereka, intervensi ini bisa dilakukan dengan proses pendidikan.
Pemerintah mesti secara lebih kongkrit mengalokasikan dana public untuk membantu keluarga miskin bisa mengakses pendidikan secara layak demi kemanusiaan, minimal sampai pada tingkat perguruan tinggi (diploma), untuk tahap awal pemerintah perlu mengalokasikan 5 % APBN/APBN untuk menyekolahkan anak keluarga miskin ke perguruang tinggi, semua perguruan tinggi bukan perguruan tinggi tertentu.
Kenapa harus 5 %, untuk tahap awal cukuplah 5%, karena kalau terlalu besar pemerintah akan kesulitan untuk membiayai sektor pembangunan yang lain, angka lima juga mengandung nilai dan kuantitas yang cukup untuk program membiayai anak miskin ke perguruan tinggi, 5 % dari mana?, 5 % dari APBN/D diseluruh Indonesia. Dan dengan program ini akan lahir generasi baru yang bersekolah yang lebih cerdas dan tidak menjadi buruh tapi kelompok menengah yang lebih cerdas di masa mendatang.

Diposting oleh Yulhendri Sutan sdq Batuah di 17.08  

0 komentar:

Posting Komentar